Hutang adalah masalah yang sangat mengikat bukan saja selagi manusia masih hidup di dunia, tapi juga akan berlanjut hingga liang lahat. Tanggungan hutang akan dibawa hingga hari perhitungan di akhirat.
Kecuali orang yang berutang karena dalam kondisi keterpaksaan lagi fakir. Orang yang dalam kondisi semacam ini (baca: fakir) berutang bukan untuk bermaksiat. AllahSubhanahu wa ta’ala akan mengkhususkan mereka yang masuk dalam kelompok ini, seperti diuraikan dalam sabdanya:
“Allah akan memangil orang-orang yang berutang nanti pada hari kiamat, lalu dipanggil di hadapan-Nya, kemudian dikatakan kepadanya, ‘Hai manusia! Untuk keperluan apa engkau berutang? Dan untuk apa engkau sia-siakan hak orang-orang?’ Ia menjawab, ‘Ya Tuhanku, Engkau Maha Mengetahui, bahwa aku mempunyai utang tidak untuk makan, tidak untuk minum, tidak untuk membeli pakaian, dan tidak pula untuk dihambur-hamburkan. Tapi aku berutang karena ada bencana alam, seperti kebakaran, kecurian, atau karena kerugian dalam perdagangan.’ Allah berfirman, ‘Benarlah hambaku. (Kalau memang begitu) Akulah yang lebih berhak membayar utangmu.’ Lalu Allah meminta sesuatu, maka disimpan pada mangkuk timbangan amal. Maka amal-amal baiknya lebih banyak yakni lebih berat dari pada amal kejahatannya. Maka masuklah ia ke surga dengan berkat rahmat-Nya.” (HR. Ahmad)
Jelaslah bahwa Allah memaafkan orang yang terpaksa berutang karena keadaannya yang sangat kritis dan orang yang tidak sanggup membayar utangnya karena mendapat malapetaka. Berbeda dengan orang yang berutang karena mengikuti hawa nafsunya.
Isyarat Nabi Muhammad tersebut di atas juga menunjukkan bahwa, sebagian besar manusia memang mudah sekali lalai terhadap utang-utangnya. Tidak sedikit pula manusia yang berutang karena untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya, sekadar ingin menggelembungkan jumlah perusahaannya.
Ada bahkan orang yang meminjam malah sudah menjadi kegemarannya (penyakitnya). Setiap hari agenda ‘wirid’nya menengok ke kanan ke kiri mencari utang. Peluang utang dintipnya dari delapan penjuru mata angin. Dari pintu ke pintu, yang ditanya adalah ada atau tidak peluang untuk berutang. Apa yang sudah ada di dalam dirinya tidak pernah merasa mencukupi. Tambal lubang gali lubang, semakin lama semakin banyak yang perlu ditambal.
Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim)
Dari Abu Qatadah radhiallahuanhu bahwasanya Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam pernah berdiri di tengah-tengah para shahabat, lalu beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang shababat, lalu bertanya. “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam kepadanya, “Ya, jika engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar dalam mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Kecuali hutang, karena sesungguhnya Jibril menyampaikan hal itu kepadaku.”
Mati Syahid Tidak Menghapus Hak Bani Adam, Tapi Menghapus Hak Allah
Mengomentari hadits diatas, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani berkata, “Orang mati syahid itu diampuni seluruh dosanya kecuali hutang. Dapat diambil pelajaran bahwa mati syahid itu tidak dapat menghapus hak orang. Sedangkan adanya hak orang pada dirinya, tidak menghalanginya mendapatkan derajat syahadah/syahid. Tidak ada makna syahadah melainkan bahwa Allah memberikan kepada orang yang mendapatkan syahadah dengan pahala khusus. Dimuliakan dengan kemuliaan yang berlebih. Sungguh dalam hadits telah diterangkan bahwa Allah mengampuni (semua dosa) kecuali ada sangkutan (hak manusia). Jika orang yang mati syahid itu mempunyai amalan-amalan saleh, dan syahadah dapat menghapuskan kejelekan selain dari sangkutan (hak). Maka amalan-amalan saleh akan bermanfaat dalam timbangan (untuk menghapus) sangkutan (hak). Sehingga derajat syahadah akan tetap (diperoleh) sempurna. Jika tidak mempunyai amalan saleh, maka itu tergantung (keputusan Allah). Wallahu’alam.” Fathul Bari, 10/193.
Oleh karena itu, seseorang hendaknya berpikir: “Mampukah saya melunasi hutang tersebut dan mendesakkah saya berhutang?” Karena ingatlah hutang pada manusia tidak bisa dilunasi hanya dengan istighfar.<
Berhati-hatilah dengan hutang, catatlah setiap transaksi hutang agar tidak terjadi masalah dikemudian hari. Jika nantinya sebelum hutang terlunasi ternyata yang bersangkutan meninggal dunia, maka ahli waris ataupun walinya dapat mengetahui dan membantu melunasinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Jika punya hutang, berniatlah untuk segera melunasinya. Karena Allah akan membantu untuk melimpahkan rezeki kepada kita jika kita berniat untuk bersegera melunasi hutamg. Dari Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Allah akan bersama (member pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasinya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah, ad-Darimi dan al-Baihaqi)
Semoga yang masih punya hutang diberikan kemudahan dalam melunasi hutang-hutangnya, Aamiin
Wallahu A’lam.
Sumber : masterberita.com
0 Response to "Wajib Baca..! “Dosa Hutang Tidak Akan Terampuni Meski Mati Syahid”, Ini Sabda Nabi Muhammad"
Posting Komentar